TIMES MALUKU, MALUKU – Rangkaian bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada akhir November hingga awal Desember 2025 memberi pesan yang seharusnya tak kita abaikan. Banjir bandang dan tanah longsor bukan lagi kejadian alam yang "datang tiba-tiba". Ini adalah akibat dari kerusakan lingkungan yang sudah lama terjadi, dan manusia ikut bermain di dalamnya.
Ketika hutan habis, gunung terkikis, dan daerah resapan air berubah menjadi area eksploitasi, maka bencana hanya menunggu waktu untuk terjadi. Alam bukan sedang marah; alam hanya sedang membalas dengan logika yang paling sederhana: apa yang dirusak, akan kembali merusak.
Peneliti Hidrologi Hutan, Hatma Suryatmojo, menjelaskan bahwa bencana banjir bandang 2025 bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari gelombang bencana hidrometeorologi yang terus meningkat dalam dua puluh tahun terakhir.
Artinya, penyebab utamanya bukan hujan ekstrem semata, tetapi rusaknya sistem ekologis. Akar pohon yang seharusnya mengikat tanah sudah hilang, daerah tampungan air sudah dibabat, dan sungai kehilangan jalur alirannya. Maka ketika hujan turun, tanah longsor dan air meluap bukan lagi kejutan, melainkan konsekuensi.
Dalam pandangan ekoteologi Islam, alam bukan benda mati yang boleh kita manfaatkan tanpa batas. Alam adalah ayat Tuhan yang bisa “berbicara” pada manusia lewat keseimbangannya. Ketika keseimbangan itu dijaga, alam memberi kehidupan. Ketika dirusak, ia memberi peringatan dan peringatannya bisa sangat menyakitkan.
Analogi sederhana: kalau pohon bisa bicara, mungkin ia sudah datang ke pengadilan meminta keadilan atas hidupnya yang dirampas. Ibnu Sina bahkan menyampaikan bahwa seluruh ekosistem memiliki “jiwa” dan perannya masing-masing.
Tidak heran jika dalam Al-Muwatha Imam Malik ditekankan larangan merusak alam bahkan saat perang sebuah penegasan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari akhlak spiritual.
Masalahnya, kerusakan lingkungan tidak terjadi karena satu orang menebang satu pohon. Ini terjadi karena sistem yang gagal mengutamakan keselamatan ekologis dalam pembangunan. Kebijakan tata ruang sering kali dibuat tanpa kajian lingkungan yang matang.
Penegakan hukum terhadap perusakan hutan lemah. Izin konsesi diberikan dengan mudah kepada perusahaan besar, sementara suara masyarakat adat yang selama ratusan tahun hidup berdampingan dengan alam kurang didengar. Ketika negara lebih sibuk mempercepat investasi ketimbang memastikan keberlanjutan alam, maka risiko bencana meningkat dan rakyat kecil menjadi korban terbesar.
Di titik ini, kritik Karl Marx dan Antonio Gramsci relevan. Negara sering berperan sebagai pelindung kepentingan pemilik modal. Proyek perkebunan, tambang, dan industri ekstraktif diperkenalkan atas nama pertumbuhan ekonomi, seolah tidak ada pilihan lain untuk mencapai kesejahteraan.
Media, akademisi tertentu, dan para pembuat kebijakan bahkan ikut menyebarkan narasi bahwa pembangunan harus “mengorbankan sedikit lingkungan”. Padahal, pengorbanan itu dibayar mahal oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Narasi “pembangunan demi kemajuan” bisa sangat memikat, tapi yang sering tidak terlihat adalah rumah warga yang hanyut, sawah yang hilang, dan kehidupan yang berubah hanya dalam hitungan jam.
Karena itu, bencana yang terjadi di Sumatra dan Aceh bukan peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ini adalah “titik genting” yang menandai rusaknya keseimbangan ekologis. Jika belajar dari sejarah bencana Indonesia, polanya selalu berulang dan bergilir: mulai dari Aceh, Padang, Palu, Lombok, NTT, Jawa Barat, dan kini kembali ke Sumatra–Aceh.
Dan bila eksploitasi tidak dikendalikan, daerah-daerah kaya sumber daya di Maluku Utara seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utara, dan Halmahera Timur hanya menunggu waktu menerima gilirannya. Bencana bukan soal “nasib daerah”, tapi soal jejak kesalahan manusia.
Al-Qur’an jauh sebelum sains modern telah mengingatkan dalam Surat Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah membuat mereka merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali.”
Ayat tersebut bukan hukuman, melainkan alarm. Ia mengingatkan manusia untuk kembali berpikir: apakah pembangunan dan industrialisasi yang dilakukan hari ini sepenuhnya membawa kemajuan, atau justru mewariskan kehancuran pada generasi berikutnya?
Karena itu, tugas kita bukan hanya membangun jembatan setelah jembatan roboh, atau membagikan sembako setelah banjir. Yang jauh lebih penting adalah membangun kesadaran bersama bahwa alam bukan properti yang boleh diambil seenaknya. Ia bagian dari kehidupan kita. Selama keserakahan lebih besar dari kebijaksanaan, bencana akan terus datang bukan karena murka Tuhan, tapi karena pilihan manusia sendiri.
***
*) Oleh : Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat dan Literasi Maluku Utara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |