https://maluku.times.co.id/
Opini

Pelacuran Intelektual di Lingkungan Kampus

Senin, 01 Desember 2025 - 19:48
Pelacuran Intelektual di Lingkungan Kampus Sahib Munawar, S.Pd,I., M.Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat dan literasi Maluku Utara.

TIMES MALUKU, MALUKU – Intelektual di lingkungan Kampus, terdengar agak seksi, tapi hal ini dilakukan oleh mereka yang notabene sebagai berilmu dan cendikiawan. Kaum cendekiawaan adalah relasi, bukan definisi yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal kekuasaan, dan kebudayaan.

Dalam sejarah umat manusia, kiprah para cendekiawan telah terbukti sangat determinitik terhadap eksistensi sebuah peradaban. Sebab ide-ide yang menetes dari kerja intelektual dan kreativitas berpikirnya, cepat atau lambat berpotensi membawa ekses yang mendua: mengangkat atau mengguncang-guncang suatu peradaban. 

Tidak jarang kerja intelektual bisa berkontribusi positif terhadap sebuah peradaban, namun tak jarang pula lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.

Penulis juga pernah mengajar (Dosen) di tiga kampus Maluku Utara, membaca, mendengar, dan menyaksikan kasus yang sangat memalukan sebagai intelektual, seperti ", ambisi menjadi guru besar, plagiat dan transaksi karya ilmiah antara dosen dan mahasiswa. 

Kampus bukan lagi dijadikan transaksi ilmu pengetahuan yang bersifat non materi, tapi mengubah menjadi transaksi jual beli. Etika yang menjadi fondasi utama para pendidik, ternyata dirasuki oleh nafsu syaiton, hanya karena ingin menjadi profesor atau guru besar. 

Demi meraih hasrat keangkuhan tersebut, seperti dikatakan Michel Focault adalah hasrat kuasa yang tak terbantahkan dan senantiasa hinggap pada setiap orang.

Menahan hasrat kuasa itulah yang akan mempergunakan segala cara untuk memperolehnya  istilah Friedrich Nietzsche "der Wille zur Macht" adalah kekuatan pendorong utama dan fundamental di balik semua tindakan atau moral budak  atau istilahnya Imam Al-Ghazali yaitu Nafsu al-Ammarah, yang cenderung mengajak pada keburukan dan kesenangan duniawi. 

Guru besar atau profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik. Selama ini kita menganggap bahwa profesor adalah gelar akademik. Sebenarnya Gelar akademik tertinggi adalah doktor (S3). UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, orang yang dapat diangkat menjadi profesor adalah orang yang memiliki gelar akademik tertinggi yaitu doktor. 

Karena itu, tugas profesor itu sangat berat. Selain membimbing calon doktor, profesor juga dituntut untuk menulis buku, menghasilkan karya ilmiah dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.

Pertanyaan mendasar bahwa: Apakah kaum intelektual hanya terbatas pada orang-orang seperti profesor, dosen atau mahasiswa yang duduk di perguruan tinggi? Dan kepada siapa predikat intelektual itu diberikan.

Untuk menjawab pertanyaan ini ada hubungannya dengan definisi yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci dalam bukunya "The Prison Notebooks" mengatakan bahwa: Semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual.

Maka dalam menjalankan fungsi intelektual, Gramsci membaginya menjadi dua jenis: yang pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama dan para administrator yang secara terus menerus melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. 

Kedua, intelektual organik, Gramsci secara langsung memandang intelektual organik merupakan kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas, penguasa dan perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol.

Gramsci yakin bahwa intelektual organik aktif dalam masyarakat, yakni senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas pasar. Kampus tidak lagi memproduksi ilmu pengetahuan dan mencetak intelektual yang mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan masyarakat, tetapi mencetak orang-orang yang gila jabatan, gila gelar dan menghamba pada kekuasaan.

Kaum Intelektual  menurut Julean Benda bahwa: Segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf atau raja. Mereka ini yang membangun kesadaran umat manusia. Julean Benda dalam mencontohkan intelektual sejati, hanya menyebutkan segelintir nama seperti Socrates, Voltaire dan Yesus. 

Menurut Benda bahwa: Intelektual sejati merupakan mereka yang kegiatannya bukanlah berdasarkan tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempratekkan seni atau ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik.

Edward Said dalam bukunya yang berjudul “Peran Intelektual” lebih condong pada definisi Antonio Gramsci, karena lebih dekat kepada realitas dari pada konsepsi Julien Benda. Terutama pada akhir abad ke-20 yang muncul banyak profesi baru seperti penyiar, akademisi, profesional, analisis komputer, ahli keijakan, penasehat pemerintah, dan seluruh profesi yang ahli dalam bidangnya masing-masing. 

Menurut Ali Syari'ati, kaum intelektual/cendekiawan, disebutnya  sebagai Rausyanfikr yakni "pemikir yang tercerahkan" yang memiliki tugas moral dan sosial yang besar untuk memajukan masyarakat. Mereka harus menjadi ideolog yang progresif dan berani menyuarakan kebenaran, bahkan jika harus melawan arus pemikiran yang ada. 

Rausyanfikr Ali Syari'ati berbeda dari intelektual Barat yang sekuler dan ulama tradisional yang kaku, karena mereka memadukan pencerahan ilmiah dengan kesadaran spiritual dan idealisme revolusioner untuk melawan ketidakadilan dan kejumudan. 

Menurut Peter Fleming, matinya universitas juga terjadi karena neoliberalisme pendidikan dan budaya kerja yang buruk. Alih-alih memproduksi ilmu pengetahuan dan mencetak intelektual, universitas berubah menjadi pasar untuk mengakumulasi keuntungan dan menjadi beban kerja baru bagi manusia.

Tesis Peter Fleming tentang matinya universitas relevan dengan pendidikan dan kampus di Indonesia khusus di daerah Maluku Utara? Jawabanya, tepat sasaran. Sangan relevan dan bahkan jauh lebih buruk pendidikan dan kampus di Indonesia khusus daerah Maluku Utara. Akademisi seringkali terjebak dalam kerja-kerja teknokratik. Akibatnya, kampus dan akademisi jauh dari realitas sosial dan politik.

Tidak jarang seorang yang memiliki gelar guru besar, karena hasrat keangkuhannya, maka terbiasa melakukan tindakan yang sudah sangat jelas melanggar aturan profesi akademik seperti melacurkan dirinya. 

Herbert Marcuse menyebutnya sebagai manusia satu dimensi (one dimensional man). Manusia satu dimensi adalah ekspresi manusia yang terkooptasi oleh sistem kapitalisme dan teknologi, sehingga kehilangan kemampuan kritis dan kesadaran sosialnya.

Gelar guru besarnya tidak ditopang oleh otak yang besar. Praktik plagiarisme, transaksi nilai akademik mahasiswa dan dosen adalah bentuk dari pelacuran intelektual. 

***

*) Oleh : Sahib Munawar, S.Pd,I., M.,Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat dan literasi Maluku Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Maluku just now

Welcome to TIMES Maluku

TIMES Maluku is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.