TIMES MALUKU, MALUKU – Sumpah Pemuda selalu menjadi ruang refleksi besar bagi bangsa ini. Peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928 itu bukan sekadar seremonial sejarah, tapi pengingat bahwa berdirinya Indonesia berangkat dari harapan yang diwujudkan melalui keberanian dan persatuan.
Para pemuda saat itu hidup dalam kungkungan kolonialisme, namun energi harapan telah membakar kesadaran mereka: Indonesia harus ada, harus merdeka, dan harus berdiri sebagai bangsa besar.
Dalam literatur klasik, Aristoteles menyebut harapan sebagai “mimpi dari seorang yang terjaga”. Artinya, harapan bukan angan tanpa arah. Harapan mengandung daya gerak, semangat, kepercayaan diri, dan keyakinan kuat bahwa masa depan dapat diubah melalui tindakan sadar. Ketika harapan itu tertanam di batin kolektif, ia menjelma menjadi kekuatan sejarah.
Itulah yang kita lihat dari Kongres Pemuda II. Para pemuda yang datang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua melepaskan ego kesukuan untuk mengikrarkan tiga janji pemuda.
Mereka memilih satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. The Power of Hope itu telah melintasi batas geografis dan perbedaan identitas, menjelma menjadi energi persatuan luar biasa.
Harapan tidak pernah hadir tanpa perjuangan. Ia menuntut pengorbanan. Semangat Sumpah Pemuda menemukan puncaknya pada 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan akhirnya diproklamasikan.
Ratusan ribu pejuang telah tumbang, namun harapan yang mereka titipkan tak pernah padam. Kemerdekaan adalah bukti bahwa harapan yang diperjuangkan secara kolektif dapat mengubah nasib bangsa.
Kini, setelah 97 tahun Sumpah Pemuda, pertanyaannya: apakah kita masih memegang harapan itu dengan sungguh-sungguh? Ataukah kita terlena dan membiarkan semangat persatuan memudar di tengah polarisasi identitas dan kepentingan?
Indonesia lahir karena rasa senasib: sama-sama dijajah, sama-sama haus kemerdekaan, dan sama-sama mendamba hidup berkeadilan. Persatuan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari keputusan para pendiri bangsa untuk melebur menjadi satu dalam bingkai NKRI.
Karena itu, pemegang amanah negara hari ini tidak hanya bertanggung jawab secara administratif di hadapan publik. Mereka juga memikul tanggung jawab moral di hadapan para pendiri bangsa.
Indonesia dapat berdiri karena alasan yang kuat, dan suatu bangsa juga bisa runtuh karena alasan yang serupa. Sejarah dunia mencatat banyak negara bubar karena kehilangan orientasi moral. Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi salah satunya.
Koneksi Moral dengan Para Pendiri Bangsa
Untuk menjaga arah perjuangan bangsa, kita perlu memiliki apa yang saya sebut sebagai koneksi moral: keterhubungan rasa dan cita antara pemimpin hari ini dengan para pendiri bangsa.
Koneksi moral hanya mungkin hadir jika pemimpin mampu membangun koneksi ide, yaitu pemahaman terhadap gagasan-gagasan dasar yang dulu melahirkan Indonesia.
Di sini, narasi sejarah memegang peran penting. Tanpa pemahaman sejarah yang hidup, pemimpin akan kehilangan arah, membuat kebijakan berdasarkan ego politik, bahkan tunduk pada kekuasaan segelintir elite.
Harapan Kemerdekaan itu jelas: mencerdaskan kehidupan bangsa pendidikan yang merata dan terjangkau, melindungi fakir miskin-akses kesehatan dan kesejahteraan yang lebih adil, menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selama ini belum sepenuhnya terwujud. Karena itu, tugas generasi hari ini adalah meneruskan perjuangan itu dengan kesungguhan yang sama. Mengutip pesan abadi Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.”
Bukan mengingatnya sebagai upacara seremonial, melainkan sebagai dasar moral dalam menentukan arah kebijakan publik dan masa depan bangsa.
Kemerdekaan bukan garis akhir. Ia justru menjadi awal dari harapan yang lebih besar. Jika Sumpah Pemuda adalah deklarasi harapan, maka hari ini kita wajib menjaga, memperbaharui, dan memperjuangkannya dengan cara kita: membangun pendidikan, memperkuat kesejahteraan, melawan ketidakadilan, dan merawat persatuan.
Sumpah Pemuda mengajarkan kita satu hal utama. Bahwa harapan jika dipegang bersama mampu mengubah sejarah. Kini tugas kita memastikan harapan itu tetap menyala dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan.
***
*) Oleh : Surya Atma Lestari Masuku, S.E., Pembelajar dari Maluku Utara dan Alumnus IAIN Ternate.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |