TIMES MALUKU, LAMPUNG – Melepas penat di kota, dapat dilakukan dengan mengunjungi kampung halaman dan menyelami adat-istiadat lokalnya. Seperti biasanya, selepas shubuh beberapa warga karya punggawa Kabupaten Pesisir Barat Lampung, tampak bergumul dengan perkakas sederhana. Sambil menyungging keranjang rotan dibahunya, mereka membagi kelompok dengan komposisi masing-masing 2-3 orang. Mentari belum menyapa, Mereka telah menyebar ke beberapa penjuru hutan dan akan berakhir sebelum matahari di atas ubun-ubun. Bagi masyarakat setempat, aktivitas menyadap damar atau yang disebut disebut ”Repong Damar” bukan sekedar aktivitas mencari nafkah. Tapi lebih dari itu, masyarakat menganggapnya sebagai aktivitas ritual nan sakral.
Repong damar telah menjadi culture warga Pesisir Barat Lampung yang terus dilestarikan secara turun temurun. Meskipun nilai-nilai sakral dari aktivitas tersebut terus tergerus perkembangan zaman dan makin ditinggalkan generasi muda, namun faktanya hingga saat ini budaya tersebut terus lestari. Hal ini tentu menjadi kebanggaan yang perlu dipertahankan pada satu sisi, namun juga mengandung tantangan yang perlu dikelola pada sisi lainnya. Khususnya memupuk kecintaan generasi milenial untuk mencintai budaya repong damar, sebagai warisan leluhur mereka.
Repong damar bukan semata adat istiadat. Lebih jauh repong damar telah menjadi kepercayaan masyarakat. Damar telah lama dipersonalisasi sebagai pohon yang mampu memberikan berbagai manfaat untuk manusia. Bahkan beberapa masyarakat adat setempat masih meyakini pohon damar dapat diajak berkomunikasi. Dengan komunikasi batin, pohon damar dipercaya akan menghasilkan getah damar yang lebih banyak dan berkualitas.
Lebh lanjut, kedekatan masyarakat krui dengan damar digambarkan dengan larangan memotong pohon damar tanpa izin adat, bahkan dalam setiap pernikahan masyarakat setempat, kedua mempelai diwajibkan menanam pohon damar. Tujuannya tidak lain agar pohon damar terus lestari dan budaya repong damar tetap dapat dijaga.
Bagi masyarakat Krui, mengumpulkan getah damar bukan hanya pekerjaan laki-laki tetapi juga bagian dari kebanggaan kaum perempuan. Apalagi Damar Pinus (Shorea javanica) yang dihasilkan, merupakan damar terbaik atau dikenal dengan damar mata kucing karena kejernihan getahnya. Produk damar ekspor ke Jepang ini kekayaan berharga alam Kabupaten Pessir Barat Lampung. Tidak jarang beberapa peneliti asing berkunjung untuk mendalami pohon damar sehingga menghasilkan getah terbaiknya.
Secara perlahan namun pasti, repong damar mulai tergerus dengan berbagai komoditas lain. Para petani damar yang sebelumnya lincah meliuk-liuk di batang pohon damar yang berdiameter hingga dua meter dengan sebuah rotan yang melilit dipinggangnya, semakin menua dan ’gagal’ meregenerasi. Hal ini mahfum karena generasi muda tak lagi tertarik dengan aktivitas tradisional tersebut yang dianggap tidak moderen. Persepsi tersebut hadir seiring semakin lunturnya nilai-nilai spiritual repong damar sebagai bagian adat setempat.
Oleh karena itu, para tetua adat perlu memperbaiki cara komunikasi dan pendekatan yang berbeda dengan generasi saat ini. Harapannya tentu agar generasi milenial memiliki pemahaman dan mencintai pohon damar sebagai kekayaan daerah. Sehingga adat Repong Damar kelak tidak hanya menjadi kenangan di museum-museum saja.
Untuk menjaga dan melestarikan adat Repong Damar tersebut, maka diperlukan cara komunikasi yang dapat diterima generasi saat ini. Permasalahan transfer of knowledge yang akan membentuk identitas/culture, perlu dilakukan secara simultan, terstruktur, massif dan menggunakan tehnik komunikasi yang tepat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan kehidupan yang kompleks, di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, budaya sebagai produk masyarakat setempat, perlu dipertahankan sebagai bagian dari kekayaan bangsa. Apalagi, budaya telah terbukti memiliki ’imunitas’ terhadap pengaruh globalisasi yang saat ini terus merasuk hingga pelosok negeri. Melalui pembentukan komunitas-komunitas yang melibatkan generasi milenial, maka upaya pelestarian adat lokal dapat dilaksanakan.
Transfer of culture pada generasi muda perlu dilakukan secara atraktif dan kekinian, sehingga mendorong interest mereka untuk mempelajari seluk-beluk perkebunan damar, mulai dari proses pembibitan, pemeliharaan, penyadapan hingga penjualan. Terpenting juga penanaman keyakinan bahwa repong damar bukan sekedar adat, tapi juga memiliki peluang ekonomi yang menguntungkan. Sehingga, generasi milenial tidak lagi berfikir mencari penghasilan diluar daerah, namun dapat mengoptimalkan kekayaan daerahnya sebagai penghasilan yang menggiurkan.
Dilengkapi dengan berbagai promosi berbasis IT yang disukai, tentu proses ini akan dapat dilalui dengan baik. Dukungan Pemerintah Daerah dengan menyediakan spot-spot pembelajaran yang menarik, akan menjadi nilai tambah bagi proses pelestarian adat repong damar kepada generasi muda Pesisir Barat Lampung. Berani mencoba?
***
*) Oleh: Fajar Sidik, S.H., M.Medkom.; Kepala Seksi PSAPP, Kanwil DJPb Provinsi Lampung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |