https://maluku.times.co.id/
Opini

Saat Malut Krisis Ekologi

Sabtu, 22 November 2025 - 18:12
Saat Malut Krisis Ekologi Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat, dan Literasi Maluku Utara.

TIMES MALUKU, MALUKU – Maluku Utara dikenal sebagai wilayah yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam berlimpah: dari hutan tropis, perairan yang kaya biota laut, hingga mineral strategis seperti emas, nikel, dan batu bara yang tersimpan di perut Bumi Moloku Kie Raha. 

Namun, karunia ini tidak serta-merta memberikan kesejahteraan ketika pengelolaannya berjalan tanpa prinsip keberlanjutan. Di banyak titik, wajah Maluku Utara justru dipenuhi luka ekologis akibat eksploitasi yang tak terkendali.

Seiring meningkatnya aktivitas pertambangan di berbagai wilayah seperti Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, hingga Kepulauan Obi dan Kusubibi, tekanan terhadap lingkungan semakin terasa serius. Aktivitas industri ekstraktif yang terus meluas telah memicu ketidakseimbangan ekosistem. 

Krisis ekologi terjadi ketika pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara berlebihan, melampaui daya dukung lingkungan. Industri tambang merupakan sektor yang paling menonjol dalam menyumbang kerusakan ini.

Di banyak tempat, tambang meninggalkan jejak bencana ekologis: pencemaran air, degradasi tanah, dan kerusakan hutan. Kepulauan Obi kini menjadi contoh nyata, di mana sedimentasi besar-besaran memenuhi aliran sungai akibat aktivitas tambang. Mangrove menyusut hingga 20-30 persen, merusak ekosistem pesisir yang selama ini melindungi masyarakat dari abrasi. 

Di Halmahera Timur, warga Maba Sangaji merasakan langsung dampak buruk aktivitas pertambangan nikel mulai dari pencemaran air hingga perubahan drastis kualitas tanah dan hutan yang dulu menjadi sumber penghidupan utama.

Sungai Sangaji yang dahulu jernih kini berubah menjadi keruh kecokelatan bahkan kehijauan. Air yang sebelumnya dipakai untuk minum, mencuci, bertani, hingga ritual adat, kini tak lagi layak digunakan. Ikan mati bertebaran di sepanjang aliran sungai. 

Kehidupan masyarakat adat kian terhimpit, kehilangan akses terhadap sumber-sumber alam esensial. Ironisnya, upaya masyarakat mempertahankan tanah dan lingkungannya justru berujung kriminalisasi terhadap sebelas warga adat.

Dalam konteks ini, pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur) terasa relevan. Menurutnya, kerusakan alam adalah buah dari cara pandang manusia modern yang materialistis memperlakukan alam sebagai objek ekspoitasi, bukan mitra hidup yang harus dijaga. 

Senada dengan itu, Darling Murdy mengemukakan kritik terhadap kecenderungan antroposentris manusia yang “memperalat alam semesta”. Ketika tujuan ekonomi yang dikejar manusia melampaui batas toleransi ekosistem, maka secara perlahan manusia sebenarnya sedang “bunuh diri” ekologis.

Krisis ekologis akibat aktivitas tambang juga memakan korban jiwa, sebagaimana tragedi yang terjadi di Kusubibi, Halmahera Selatan. Hujan deras yang mengguyur kawasan tambang emas ilegal menyebabkan lubang galian terisi air. 

Para penambang berusaha menahan derasnya air dengan peralatan darurat, namun empat orang tetap terjebak di dalam lubang sempit yang rawan longsor. 

Banyak korban jiwa lain yang diduga tidak dipublikasikan. Masyarakat mencurigai adanya kepentingan tertentu menutupi tragedi demi melindungi aktivitas tambang ilegal yang dikendalikan kelompok berpengaruh.

Jika kita jujur membuka mata, tampak jelas banyak lahan gundul bekas tambang dibiarkan tanpa reklamasi. Lubang-lubang besar menganga bagai luka yang tak pernah diobati. Sungai-sungai tercemar logam berat. 

Masyarakat adat kehilangan ruang hidup. Semua ini adalah harga mahal yang tak selalu terlihat kasat mata: hilangnya air bersih, kualitas kesehatan yang merosot, hingga trauma psikologis anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang rusak.

Dari perspektif filsafat lingkungan, krisis ini berakar pada cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Sumber daya alam dianggap hanya sebagai objek eksploitasi bagi kepentingan ekonomi, terutama bagi korporasi dan elit-elit yang berkolaborasi dengan kekuasaan. Nilai intrinsik alam diabaikan demi keuntungan jangka pendek, termasuk dalam proyek strategis nasional seperti hilirisasi nikel.

Sebaliknya, ekosentrisme mengingatkan kita bahwa alam merupakan komunitas kehidupan yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Hutan, sungai, dan laut memiliki hak untuk tetap hidup dan lestari. 

Dari sudut pandang ini, kerusakan ekosistem di Maluku Utara adalah pelanggaran etis yang serius. Sementara itu, pendekatan utilitarian menilai bahwa tindakan harus memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. 

Bila dibandingkan antara keuntungan industri tambang dan kerugian masyarakat lokal yang kehilangan air bersih, sumber nafkah, serta menghadapi risiko banjir dan longsor, jelas bahwa pertambangan di banyak wilayah Maluku Utara sangat problematis.

Filsafat mengajak kita melihat secara lebih jernih: krisis ini bukan hanya masalah teknis, tetapi krisis moral yang lahir dari kerakusan manusia. Diperlukan perubahan paradigma menuju etika ekologis yang menegaskan pentingnya keberlanjutan, keadilan ekologis, dan pengakuan nilai intrinsik alam. Tanpa itu, penambangan yang ada tak akan pernah benar-benar bertanggung jawab, bahkan idealnya dihentikan jika kerusakannya tak bisa dipulihkan.

Lebih jauh, kita sering lupa bahwa bumi bukan sekadar objek eksploitasi. Ia adalah amanah Tuhan, tempat manusia diberi mandat sebagai khalifah fil-ardh: menjaga dan memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Allah SWT mengingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya,” (QS. Al-A’raf: 56).

Dan firman-Nya pula: “Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya orang-orang yang melakukan perbaikan," (QS. Al-Baqarah: 11).

Ayat ini menyingkap tabir mereka yang mengklaim membawa pembangunan, tetapi justru menjadi penyebab kerusakan.

Tidak ada gading yang tak retak. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk kembali menimbang arah pembangunan Maluku Utara: apakah ia benar-benar untuk kemaslahatan manusia dan alam, atau justru menuju keruntuhan ekologis yang semakin dalam.

***

*) Oleh : Sahib Munawar, S.Pd.I., M.Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat, dan Literasi Maluku Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Maluku just now

Welcome to TIMES Maluku

TIMES Maluku is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.